TNI : Di Bawah Tiga Bendera
*Tulisan ini disampaikan dalam diskusidan bedah buku ‘TNI Bukan Tentara Rakyat’ bertempat di Sosial Movement Institut(SMI) pada tanggal 9 Agustus 2017. ?
Ketiga kelompok itu adalah para eks-KNIL yang dididikan akademi militer militer Belanda di Breda (Belanda) ; para eks-PETA yang di tempa secara kilat dengan Ideologi fasis Jepang ; dan laskar-laskar rakyat, yang sebagaian besar tergusur dalam perbutan para eks-KNIL dan eks-PETA terhadap hirarki tentara regurer yang dibentuk penguasa republik muda ini.
Dr. George Junus Aditjondro
Menurut Ulf Sundhaussen dan Hendrajit ada tiga unsur pembentuk TNI : Pertama, mereka yang bekas opsir KNIL yang jumlahnya sedikit, sekitar 30 orang. Kelompok ini menjadi sangat berpengaruh karena pendidikan mereka memungkinkan untuk menjalankan tugas-tugas staf. Kedua, mereka yang bekas serdadu Perajurit Pembela Tanah Air (PETA) , yang merupakan kelompok yang paling besar jumlahnya. Dan ketiga, mereka yang terdiri dari pemuda yang berasal dari laskar-laskar yang banyak berdiri pada masa revolusi. Mereka ini tidak pernah menerima pendidikan atau latihan militer yang teratur dan berdisiplin seperti kedua kelompok sebelumnya.
KNIL
Dilihat dari sejarahnya, pembentukan KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger) dan rekrutmen orang-orang bumiputra dimaksudkan untuk mempertahankan keterlibatan dan ketenteraman (rut en orde) tanah jajahan dari rongrongan, hasutan, dan pemberontakan rakyat Indonesia. Salah satunya adalah Perang Diponogoro pada 1825-1830 yang menguras tenaga dan menghabiskan biaya. Perang selama lima tahun itu tercatat sebagai perang yang paling meletihkan dan paling merugikan keuangan Belanda. Penguasa kolonial kemudian mengambil kebijakan untuk memperbesar jumlah tentara agar dapat membasmi perlawanan rakyat.
Guna kebutuhan itu, orang-orang bumiputra mulai direkrut sebagai tentara dalam dinas ketentaraan kolonial, walaupun hanya tentara daerah Timor, Minahasa, dan Ambon yang mayoritas beragama Kristen. Direkrutnya orang-orang dari Timor, Minahasa, dan Ambon ini juga dimaksudkan untuk menjauhkan perasan nasionalisme mereka sehingga mereka merasa tidak berpentingan dengan aspirasi rakyat keseluruhan.
Pada 1923 Larson menunjukan data, dari 26.000 oarang yang terdaftar KNIL, 8.500 adalah Maluku dan Minahasa. Dan Timor 1.000, dari Jawa Barat 1.500 dan dari Jawa (Jawa tengah maupun Jawa Timur, ed.). Namun demikian, jumlah terbesar dari prajurut-perajurit KNIL adalah dari golongan Eropa. Menarik untuk ditelusuri lebih jauh, ternyata para prajurit dari golongan Eropan itu adalah prajurit bayaran yang berasal dari kawasan-kawasan miskin di seluruh Eropa. Melalui Handerwijk, yakini pusat rekrutmen tentara bayaran yang sering di ejek sebagai comberan Eropa (The Sink-hole of Europe), para prajurit ini dibawa ke tanah Hindia.
Dinas ketentaraan seringkali hanya diperuntukan bagi orang-orang Eropa yang tidak memiliki pekerjaan sehingga terpaksa memilih profesi sebagai tentara. Ini menunjukan bukti bahwa menjadi tentara bukan dimotivasi oleh semangat bela negara dan rela berkorban demi kejayaan Kerajaan Belanda. Tapi lebih di dorong oleh kehendak untuk memperoleh nafkah bagi hidupnya sehari-hari. Kenyataan bahwa motivasi menjadi tentara bukan semata-mata didorong oleh daya tarik uang. Akses terhadap pelacuran ternyata cukup mendatangkan rangsangan untuk menjadi tentara. Selain itu juga kesempatan berpetualang keberbagai tempat.
PETA
Perubahan politik internasional yang deramatis dan derastis. Kejayaan kekuatan fasis di Eropa bara menimbulkan kekhwatiran di kekuatan pro-demokrasi. Fasis dilihat sebagai kekuatan anti demokarsi yang sangat berbahaya. Bahkan kaum komunis berpandangan fasisme jauh lebih berbahaya ketimbang kapitalisme. Kekhwatiran terhadap fasisme itu menjadi kenyataan, ketika Hitler menyerbu Polandia pada 1939, yang kemudian memicu Perang Dunia II.
Pada tanggal 8 Desember 1941 tiba-tiba Jepang menyerang pangkalan Angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai. Dan pada tanggal 14 Pebruari 1942, Jepang menyerang Indonesia dan segera menduduki Sumatera Selatan. Selanjutnya pada tanggal 1 Maret dini hari, mereka mendarat di Jawa dan pada tanggal 8 Maret 1942, Letnan Jendral Ter Poortrn, Panglima Tentara Hindia Belanda (KNIL) menyerahkan atas nama seluruh Angkatan Perang Sekutu di Jawa. Sejak saat itu, berakhirlah masa penjajahan Kolonial Belanda selama hampir 3, 5 abad dan dimulailah era keuasaan fasisme Jepang.
LASKAR RAKYAT
Tentara yang lahir dari rakyat dan yang besar bersama rakyat dan revolusi itu, adalah laskar rakyat.
Istilah laskar dapat di terjemahkan dalam bahasa inggris dengan Solider, Militia, atau army. Namun menurut Cribb ketika masa revolusi fisik, istilah itu bermakna satuan bersenjata di luar tentara reguler, yang pada umumnya berkonotasi pada suatu orientasi politik tertentu.
Bagaimana metode perlawanan yang dilakukan rakyat ketika menghadapi tentara penduduk Jepang, terutama gerakan bawah tanah. Kedua, dengan menghubungkan pada gairah dan gelora pemuda yang menyala-nyala yang tidak bisa ditampung oleh sesuatu organisasi bersenjata yang teratur, disiplin dan hirarkis. Kedua faktor ini yang menjadi cikal bakal kemunculan laskar rakyat dan kemudian bersama dengan eks-KNIL dan eks PETA terlibat dalam parsaingan untuk meraih dominasi dalam tubuh TNI.
Disamping itu perlawanan timbul oleh para aktivis saat Jepang mendarat di tanah Jawa. Pertama, secara resmi di atas tanah (terang-terangan), dan kedua, di bawah tanah (secara diam-diam). Khan (1995) menjelasakan mengenai gerakan bawah tanah. Pertama dan terbesar dipimpin oleh Amir Syarifudin, seorang eks-ketua Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang paling konsisten dan teguh melawan fasisme. Kekuaan bawah tanah ini yang paling ditakuti Jepang. Kedua, gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Soetan Sjahrir. Gerakan ini mengembangkan cabang-cabang di Jakarta (Batavia), Cirebon, Garut, Semarang, dan Surabaya. Ketiga, gerakan bawah tanah Persatuan Mahasiswa, di Jakarta terutama dari fakultas kedokteran. Terakhir gerakan bawah tanah yang diketuai oleh Sukami, yang bermarkas di Asrama Angkatan Baru Indonesia, di jalan Menteng Raya 31 Jakarta. Di antara pemimpinya terdapat Adam Malik, pandu Wiguna, Chairul Saleh dan Maruto Nitimiharjo.
Kahin juga menambahkan bahwa tujuan utama keempat gerakan bawah tanah itu merembes ke dalam PETA dan ke dalam organisasi-organisasi pemuda bentukan Jepang. Ada dua tujuan utama dari perembesan itu : pertama, sebanyak mungkin mengontrol unit-unit semua organisasi lewat pemegang kunci yang dapat di percaya; kedua, menggiring anggota kearah jepang dan Pro-Sekutu, terutama menyiapkan mereka unuk bangkit melawan Jepang bila invasi Sekutu bakal datang.
Pemberontakan PETA di Belitar merupakan hasil nyata dari keberhasilan kelompok Amir Syarifudin, sedangkan kelompok Sukami merupakan kelompok yang berhasil melicinkan jalan bagi tercetusnya Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam gerakan patriotik untuk merdeka itu, kemudian banyak muncul petualang-petualang yang tidak jarang menimbulkan tindak over acting dari pemuda-pemuda tersebut. Soe Hok Gie (1997) mengatakan, terjadi “dendam” mata-mata Belanda; pembunuhan dilakukan terhadap siapa saja yang dicurigai mata-mata aksi-aksi razia dan pemulangan terhadap mata-mata. Sedangkan menurut Siaw Tiong Djien (1992) banyak dari golongan Tionghoa yang dirampok, dianiaya bahkan dibunuh dengan kejam oleh pasukan-pasukan bersenjata pemuda ini.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, bahwa suatu kongres pemuda akan dilangsungkan di Yogyakarta, mulai tanggal 10 – 11 November. Enam hari kemudian, suatu kongres pendahuluan dilangsungkan di kota keraton yang dihadiri oleh masing-masing utusan dari, API (Angkatan Pemuda Indonesia, Jakarta), Gerpri, organisasi pemuda terkemuka di Yogyakarta, Pelopor (Jakarta), dan AMRI, golongan muda utama di Semarang (Jawa Tengah), dan masing-masing satu utusan dari PRI (Bandung), IPI (Jakarta), dan Staf Wartawan Kementerian Penerangan.
KONFLIK, PEREBUTAN KEKUASAN, DAN HEGEMONI
Cikal bakal keberadaan TNI sesungguhnya diawali dengan dibentuknya sebuah badan oleh PPKI pada 20 Agustus 1945. Badan tersebut kemudian dinamakan badan Penolong Keluarga Korban Perang atau BPKKP (sebagai versi yang dihidupkan kembali dan Badan Pembantu Prajurit Masa Perang dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan yang didirikan oleh Otto Iskandardinata untuk membantu orang-orang Peta dan keluarga-keluarga mereka). Di dalam tubuh BPKP itu kemudian dibentuk suatu Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang oleh Anderson dipuji sebagai tindakan bijaksana.
Menurut Sundhaussen (1986) benyebab konflik tentara reguler – yang memperoleh latihan intensif, disebabkan oleh dua hal: pertama, karena adanya kekurangan yang gawat akan senjata. Hal ini di dasarkan pada kenyatan bahwa antara tentara reguler dan laskar terjadi bentrokan dalam bentuk saling melucuti senjata. Kedua, tentara reguler dan laskar bersaing mendapatkan dukungan rakyat.
Karena Militan dan radikal laskar lebih mendapat sambutan hangat dari rakyat. Seperti misal, laskar dengan gagah berani mengorbankan jiwa raganya dalam pertempuaran 10 November 1945 di Surabaya, sementara para eks-PETA dan eks-KNIL malah asyik berkonfrensi di Yogyakarta untuk memilih sendiri Menteri Pertahanan dan Panglima Tentara. Di Surabaya tentara reguler memilih untuk menahan diri atau barangkali tidak siap untuk terjun ke medan pertempuran. Sikap anti Laskar yang ditunjukan oleh tentara reguler didasarkan oleh ekonomi dan politik.
Pasca Peristiwa Madiun, keberadaan tentara reguler semakin kuat dan berkembang hingga sekarang. Dengan demikian, tentara regulerlah yang berhasil memenangkan persaingan untuk meraih dominasi dan hegemoni di tubuh TNI. Saya berpendapat dari sejarah yang di Paparkan Coen Husein Pontoh bahwa “TNI bukan tentara rakyat” dimotivasi oleh dominasi dan hegemoni-- baik bidang ekonomi dan Politik bahkan dalam kesadaran kita.
*Tulisan ini disampaikan dalam diskusi dan bedah buku ‘TNI Bukan Tentara Rakyat’ bertempat di Sosial Movement Institut (SMI) pada tanggal 9 Agustus 2017.